Monday, October 21, 2013

Waiting for That Never Return

Aku melihat ke sekeliling Malioboro. Tepat sekali! Sekarang aku sedang ada di Malioboro, Yogyakarta, tempat terindah untuk melihat senja. Aku jadi ingin merasakan bedanya disini tanpa kehadiranmu. Oh, iya tunggu, aku belum memperkenalkan siapa kamu kan, Sayang?

Akan kuceritakan. Kekasihku ini seorang photographer, dia sangat mencintai hobbynya itu. Dia suka mengabadikan diriku dengan lensanya itu. Dia sangat unik, dan aku sangat menyayanginya. Sekarang dia sedang melihat senja di Malioboro. Betapa indahnya, kawan, jika kau melihat senja di Malioboro bersama kekasih tercintamu. Tentu saja aku pun merasa senang dan bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan-lah aku bisa melihat senja nan indah ini di Malioboro.
Senja telah berlalu, langit seakan memakan kenanganku dengan kekasihku. Aku rasa mereka iri melihat kemesraanku. Ah, aku tidak ingin menyombongkan diri jika aku mempunyai kekasih yang sangat romantis seperti dia. Oh iya, biar kuberitahu namanya. Lelaki yang sangat kucintai ini bernama Balthasar, aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Asar. Namanya diambil dari kata Italia 'Baldassare' yang memiliki arti "dilindungi oleh Allah". Ah, nama yang indah bukan?
Asar sering sekali mengajakku bermain ke Yogyakarta. Entah itu melihat embun atau kabut pagi di Borobudur, makan malam berdua dengan candle light, atau melihat senja berdua di Malioboro. Dia adalah lelaki paling romantis yang aku kenal. Dia adalah seseorang yang taat beribadah, dia pintar mengaji. Bahkan, aku sangat malu ketika dia bertanya tentang tajwid kepadaku. Aku hanya bisa nyengir kuda jika ditanyainya tajdiwd. Menurutku dia adalah pria yang nyaris sempurna. Dia adalah orang yang pendiam, dan yang membuatku gampang merindukannya itu adalah saat dia mencoba melucu, tapi leluconnya membuat dirinya terlihat jayus. Hahaha, aku hampir gila dibuatnya.
Esok adalah acara pernikahanku dengan Asar. Aku sudah sangat tidak sabar lagi untuk menemuinya dengan menggunakan white dress yang Ia pilihkan untukku. "Kamu pasti akan cantik jika memakainya," puji Asar.
Pada waktu itu, hari pernikahan kita pun tiba. Aku sudah dirias dan sudah membalut tubuhku dengan gaun pilihan kekasih tercintaku, Asar. Aku sudah tidak sabar bertemunya, kataku waktu itu. Aku ingat Asar sedang di rumahnya, dia akan ke gedung pernikahan kita dengan mobil pengantin yang Ia siapkan.
Saat itu pun tiba... Aku sudah siap menanti kehadiran Asar di gedung yang akan menjadi saksi bisu janji kisah cinta kita. Kemana Asar? Kenapa dia belum datang juga? Aku sadar waktu itu dia telat 30 menit dari acara yang sudah dirancang khusus untuk kita berdua. Aku dengan sabar menantinya...Menunggunya...
Teleponku pun berdering. "Nomor yang tidak kukenal." gerutuku. Aku riject saja teleponnya. Namun, telepon itu terus berdering. Mungkin ini penting, pikirku. Namun, tidak ada yang lebih penting lagi selain kabar dari Asar yang tidak mengangkat teleponnya dan telat hampir... 40menit?! mataku terbelalak saat melihat jam di dinding.
"Hallo? Ini siapa?" tanyaku. Terdengar suara berisik disana, namun aku bisa mendengar suara itu. "Apa?!" air mataku turun meleleh begitu deras, berita buruk yang aku dengar. Aku tidak peduli lagi dengan makeup yang sudah luntur, atau muka yang sudah terlihat tidak mengenakan. Langsung aku meminta tolong kepada supirku untuk mengantarkanku menuju rumah sakit yang diberi tahu orang baik hati di telepon tadi. Di mobil aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahu sudah sehancur apa hatiku saat ini. Sudah sehancur apa pula kenangan indah yang telah kurajut bersamanya. Makeupku luntur, aku tidak peduli lagi gaun pilihan kekasihku ini akan terlihat kusut atau tidak. Yang aku pedulikan hanyalah Asar. Asar. Asar.

Sudah satu tahun Asar meninggalkanku dengan tragis. Dia mengalami kecelakaan pada saat perjalanan ke gedung yang akan jadi tempat saksi bisu kisah cinta kita berdua. Nyawanya tidak tertolong, dia sudah kehabisan banyak darah dan lambat dibawa ke rumah sakit. Akhirnya, dengan ketidak relaan dan sisa-sisa kekuatan yang kupunya, aku mencoba mengikhlaskannya. Namun, tidak bisa. Karena harusnya sekarang mungkin aku sudah mempunyai anak bayi lucu, entah gadis atau pria. Harapan itu sirna ketika Asar meninggalkanku. Aku merindukanmu, Asar. Selalu.

Senja di Malioboro yang baru saja aku lihat sudah berlalu, sekarang mungkin mereka tidak iri dengan keromantisanku dengan Asar. Melainkan, mereka iri karena aku masih bisa merasakan keberadaan Asar disini. Atau mungkinkah mereka ingin meluangkanku waktu sedikit untuk melupakan kenanganku dengan Asar? Atau... Mereka ingin aku melupakan Asar? TIDAK! Aku tidak akan melupakan kedua hal yang tidak mungkin aku lupakan. Melupakan seseorang seperti Asar apalagi bersama kenangan kita itu bagaikan mencoba mengingat orang yang sama sekali tidak pernah kamu kenal. Sulit. Susah. Sangat sulit dan susah.

Asar, dimanakah dirimu sekarang? Aku merindukanmu. Aku merindukan kita dan kenangan yang pernah kita lalui. Melihat senja di Malioboro, merasakan sejuknya embun di Candi Borobudur, merasakan hangatnya perbincangan di sela-sela waktu makan. Asar, aku mencintaimu sampai detik ini. Belum ada orang yang bisa menggantikan posisimu. Aku berbicara dalam hatiku, yang mungkin sekarang terlihat rapuhnya.

Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pemakaman umum, tempatmu disemayamkan.
"Asar, tetaplah menjaga cintaku di surga sana tempat kau berada. Aku merindukan kenangan kita, Asar," tidak terasa air mataku menetes, semakin deras. "Aku sangat sakit dan terluka ketika kau meninggalkan ku begitu saja di acara pernikahan kita. Mengapa kau pergi sebelum kita membina rumah tangga? Apa karena Allah sayang kepadamu, Sar? Demi langit dan bumi, yang seakan berputar lebih lambat. Aku merasakan kehilanganmu, kepergianmu. Setiap menit dan detik. Aku merasa belum bisa ikhlas akan kepergianmu, Sar. Andai saja kau bisa kembali, kembalilah, Sar. Aku akan selalu menunggu kehadiranmu. Walaupun aku tahu, mau aku tukar kau dengan nyawaku pun kau tidak akan pernah kembali..."

No comments:

Post a Comment