Nina terdiam, dia hanya menatap langit-langit yang gelap tanpa bintang. Seperti hatinya, redup. Dia harus merelakan Noval pergi jauh. Perbincangan waktu itu membuatnya susah lupa akan Noval. Kenangan yang terlalu banyak dibingkai manis pun tidak akan dibuang begitu saja olehnya. Nina tak tahu harus bagaimana, menyesal adalah kata yang paling tepat.
Hari itu adalah hari terburuk yang pernah Nina alami.
"Nin, aku mau pulang sebentar boleh nggak?" tanya Noval sembari menggendong tasnya.
"Kamu mau kemana? Gitu banget, sih, pulang cepet"
"Maaf, Nin, aku nggak bisa lama-lama disini"
"Yaudah sana"
"Jangan bete dong, entar balik lagi kok"
"Iya."
Noval pergi tanpa memberi kabar, 'tidak seperti biasanya', batin Nina.
Tiba-tiba saja Nina mendapatkan surat yang diselimuti amplop biru, warna kesukaannya...
Hai, Nin. Semoga kamu baca selembar kertas tak bernyawa ini. Kamu tahu aku udah ngerangkai kata-kata sedemikian rupa kaya gini demi kamu? Kamu pasti ilfeel deh kalau baca surat ini, haha. Nin, mungkin aku emang udah lama suka sama kamu, bahkan sayang. Tapi, Nin, kamu selalu nggak ngegubris keberadaan aku, aku di samping kamu aja nggak kamu gubris gimana perasaanku ya? Kenapa bisa gitu ya? Apa ada yang salah antara aku ataupun 'kita'? Nin, setelah kamu baca ini aku harap kamu bisa ngerti, mungkin aku nggak pernah bilang 'pacaran yuk?' Ya, bukan karena gengsiku lebih besar daripada perasaanku, sih, aku cuma nggak bisa ngeliat bintang seterang kamu jadi redup karena tahu sebenarnya tentang aku. Mungkin perbincangan tadi menjadi perbincangan terakhir ya setelah aku divonis HIV. Ilfeel ya pernah deket sama aku karena penyakit yang menjijikan itu? Pasti kamu udah nggak mau liat aku lagi, kan, setelah baca surat ini? Aku juga nggak ngerti kenapa bisa terkena penyakit terkutuk itu, Nin. Maafin aku ya, Nin. Kamu emang nggak pernah bilang kalau kamu juga suka aku, tapi semoga jangan, sekali lagi 'jangan.' Bahagia terus ya, Nin. Ini aku kasih foto kita selfie, sama sebuket bunga mawar putih. Maaf ya cuma bisa ngasih itu untuk terakhir kalinya. Suka, kan? Tetap tersenyum ya, manis. See you sweetie.
Dari seseorang yang berharap bisa bersamamu, selalu,
Noval.
Ah, apa maksudnya semua ini.
Seandainya saja kau tahu, Nov...
Aku juga divonis seperti apa yang ditulisnya barusan. Sudah satu tahun aku mengidap HIV karena orang bodoh itu, yang tak lain adalah sahabatku. Suntikan sial itu telah membuatku seperti ini. Bodoh. Aku yang bodoh. Aku ingin selalu di dekat Noval, aku egois. Mungkin karena akulah Noval divonis HIV juga. Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Cinta. Walau aku sudah meminum banyak pil-pil obat tak berguna itu, namun tetap saja kau tertular, kan? Aku bodoh, Nov. Mengapa aku tidak menjauh seperti apa yang kau lakukan kepadaku saat ini?
Kau tahu? Aku bukan tidak menggubrismu, kita memiliki perasaan yang sama. Namun itu tadi, aku takut kau redup, cahaya pelindungku. Aku tidak bisa...
Jika saja waktu itu aku menjauhimu, jika saja aku mati terlebih dahulu sebelum kau tertular, jika saja aku tidak egois ingin selalu berada di sampingmu, jika saja aku tidak punya penyakit terkutuk ini, jika saja aku tidak pernah menyesal karena mengambil keputusan, jika saja waktu dapat kembali terulang. Jika aku tidak bertemu dengan orang-orang bodoh di sekitarku, mungkin aku akan tetap selalu berada di sampingmu... seperti yang kau harapkan, bukan?
Ah. 'Lalu mengapa Tuhan menakdirkan si A dan si B tidak bersama, tetapi memberi sejoli itu kesempatan dan kemungkinan untuk saling jatuh cinta?'
Jika saja kautahu aku sudah terlanjur menyukaimu, bahkan sebelum kautulis di surat itu 'jangan'.
Jika saja aku lebih menyayangimu dibandingkan keberadaan kita berdua yang selalu bersama.
Jika saja kau tahu aku masih mencintaimu, dan kuharap kau juga akan tetap begitu.
Jika saja kau ingin kembali, kembalilah.
Karena yang kulakukan di sisa waktu ini adalah; menunggu, hanya menunggu, menunggumu kembali.
Ini tulisan kamu semua? Bagus2 :)
ReplyDeleteAlhamdulillah iyaaa, kecuali di bawahnya ada 'note : diambil dari...' itu bukan punyaku. Btw, trims yaa :)
Delete